Sabtu, 21 Agustus 2021

Tajug di juntikebon

 

di JuntikebonTradisi najug sebagai awal belajar ngenal islam sejak dini



Najug berasal dari kata” tajug”  secara terminologi terdiri dari kata “ta” yang artinya nata dan” jug” yang artinya jujug dalam bahasa cirebon jujug bisa diartikan sebagai merapatkan menggenapkan bila kata itu digabungkan bermakna “menata barisan” dan kemudian menata barisan ini menurut orang cirebon disebut sebagai tempat untuk sholat atau langgar musolah yang kemudian hendak menjadi Masjid jami, sesuai amanat Suhunan Gunung Jati dalam wasiatnya “ Ingsun titip tajug lan fakir miskin”. Dalam sejarahnya tajug/masjid mempunyai peranan yang sangat penting dikala itu, bukan hanya sebagai tempat dan belajar ilmu agama tajug juga sebagai tempat sarana untuk mengumpulkan pasukan banyak pada masa itu, pada umumnya di cirbon sendiri letak tajug sangat bersebelahan dengan kantor pemerintahan dan ditengahnya terdapat alun-alun dan ditengahnya terdapat pohon beringin dan terdapat pula pasar ini menunjukan kesejahteraan cirbon sebagai pusat peradaban pada masa itu, dalam wasiat Suhunan “ingsun titip tajug yang bermakna tajug sebagai pusat pendidikan masyarakat pada masa itu, dan fakir miskin sebagai simbol ketidak pedulian” sehingga dalam wasiat beliau mengajarkan kita sebagai orang yang faham ilmu hendaknya kita tidak berprilaku masa bodoh kepada sesama, karena dari sesama itu terdapat pula saudara sedarah dengan kita yang tidak kenal dengan kita yang tidak boleh kita campakan.

     Dalam masyarakat juntikebon sendiri istilah najug itu sendiri sebagai upaya menimba ilmu kepada orang yang faham ilmu atau dituakan yang disebut seorang kiyai, selain belajar norma-norma kesopanan, belajar ngaji membaca Quran dan mengenal islam juga mengajarkan seni beladiri dan kemampuan lainya yang dimiliki oleh kiyai tersebut, dalam tradisi najug itu sendiri dimulai dari masa anak-anak kemudian remaja bahkan usia dewasa, dalam tradisi najug ini tidak mengenal batas usia tidak sepertihalnya di sekolah madrasah yang kita kenal sekarang ini usia adalah sebagai penentu, dewasa maupun anak-anak semua mempunyai keinginan yang sama yaitu genahu ngaji metode awalnya genahu ngaji ini berawal dari membaca turutan(Quran kecil)

 


 mulai dari belajar alif, ba, tha, sa, jim, sampai bisa membaca langsung dari Alfatihan sampai Ammayatasa, metode pengajaranya dari bimbingan sampai hapalan, setelah selesai belajar turutan (quran kecil) barulah ditutup dengan terdisi Khataman, tradisi khataman ini sebagai penutup dimana setelah penutup seorang santri diperbolehkan oleh kiyainya menjadi santri kalong untuk belajar kepada kiyai lainya untuk memperoleh ilmu lainya sehingga santri kalong yang berarti santri yang tidak belajar menetap  pada satu kiyai.

Biasanya tradisi najug ini bermulai waktu sebelum magrib dan biasanya para orang tua mengingatkan anaknya pada saat sebelum magrib suruh mandi kemudian bergegas miyang tajug(berangkat ke tajug) selepas habis magrib para santri mulai belajar ngaji sampai batas waktu isyak.

Suara anak-anak ngaji ditambah sambil suasana canda gurau banyak menghiasi tajug-tajug sampai  batas terdengan suara azan sholat isyak, sedangan untuk para kalangan remaja ada yang menginap di tajug sampai subuh dan ada juga yang pulang ke rumah, dan ini menandakan bahwa tajug tetap hidup sesuai fungsinya. Lalu bagaimana dengan yang sudah menjadi santri kalong ?

Ketika seorang santri sudah  pernah mengalami tradisi khataman secara adat santri tersebut sudah dibolehkan menjadi santri kalong, santri kalong sendiri cara ngajinya berpindah pindah misal hari senin ngaji ke kiyai A dan hari selasa di kiyai B dan hari kamis di kiyai C, dan waktunya pun biasanya sangat ditentukan oleh kiayai yang mengajarinya tidak lah lain yang di kejar santri kalong ini diantaranya ilmu Tauhid, ilmu fiqih ,dan ilmu tasawuf, khususnya masyarakat juntikebon Tradisi najug itu sendiri di desa juntikebon sudah berlangsung sejak lama dan dari tradisi inilah awal muawal para santri junti bisa mengenal Islam sejak dini, lalu apakah tradisi ini masih tetap ada sampai sekarang, seiring dengan perkembangan zaman ?

Mari kita renungkan ..!

Tajug situs sejarah peradaban Islam di Juntikebon

 


ketika itu saya sedang menghadiri  acara malam tahlilan yang ke lima hari wafatnya alm H.burhanudin di kediamanya, dan ketika dipanjatkan doa tahlil disebutlah nama H.abdusalam dan saya pun tambah penasaran. Dan untuk menambahkan keakraban biar tidak saling membisu antar antar saudara maka saya bertanya kepada salah satu paman dari bapak saya sebutlah nama beliau H.bahir bin H.abdul hamid. kemudian saya pun memberanikan diri untuk bertanya “ kang kaji ari hubungane H.abdusalam karo H.abdulhabid kuh apa hubungane “? Kemudian beliau mnjawab, “ari abdussalam karo abdulhamid kuh, salah satu tokoh tiga serangkai yang menyebarkan islam ning juntikebon, salah sijine abdussalam terus abdulhamid terus sing sijine abdulgani” . ooh begitu, kemudian saya pun mulai berfikir untuk mulai menyatukan informasi yang sudah saya perolah dari para-para orang tua terutama dari nenek,kakek dan saudaranya termasuk alm H.burhan sendiri pernah bercerita, bahwa beliau-beliau itu masih satu saudara sepupu, dan ini bisa dibuktikan dengan adanya situs berupa langgar musolah ,yaitu diantaranya Tajug al ghani yang terletak di sebelah selatan PUI Juntikebon yang awal didirikan oleh keluarga  kyai Abdulgani dan diurus tradisinya sampai sekarang , kemudian adanya Tajug langgar Al-istikomah yang dulu dikenal sebutan dengan tajug gede, dan tajug wakaji dulloh suami dari wakaji heriyah semuanya terletak di desa juntikebon yang dibangun oleh kalangan keluarga dan kerabat Abdul Hamid dan sampai sekarang diurus oleh para keturunanya. 

 kemudian adanya Tajug yang dibangun dari kalangan keluarga Abdussalam yaitu adanya Tajug al-gozali yang dibangun oleh keluarga Hj.hasannah-H.gozali/H.Tanggal yang terletak di kompleks PUI, dan langgar Tajug H.Rais (musolah al barokah) yang terletak di desa Juntiweden baru, Dan masih ada musolah-musolah lain  yang baru-baru dibangun daan itu semua masih dari keturunan dari H.abdusalam dan H.abdul hamid namun saya sendiri masih belum tau nama musolahya musolah al-ahsan di Gg.Jeruk, musolah Al-ikhsan wakaji umar  di Gg.sukun, musolah Hj.Siti di blok famili juntiweden, musolah al ummah H.jen dan musolah Hj khozanah di kali kulon juntiweden baru  dan masih ada empat musolah lagi, namun dari musolah musolah semuanya ada di desa juntikebon yang tertua diantaranya tajug gede, tajug madrasah PUI yang dulu dikenal tajug wakaji Amin, dan tajug Al-ghani, dan dari musolah-musolah inilah cikal bakal gagasan awal berdirinya masjid jami Al fallah.

dalam adat tradisi desa juntikebon istilah musolah dulu masih dinamakan sebagai sebutan Tajug, yang identik dengan namanya yang mendirikanya atau yang mewakafkanya. Dalam  penyebutan istilah Tajug itu lebih tepat untuk musolah yang tertua baik tahun berdirinya atau segi silsilahnya keilmuanya, dan sebutan musolah itu lebih tepatnya untuk musolah yang baru –baru dibangun setelah berdirinya tajug, dari tajug itu sendiri banyak mencetak para santri sehingga ada yang menjadi penyuluh bahkan pemuka agama,baik ustad maupun tokoh adat bahkan ada juga yang menjadi imam di musolah yang baru dibangunya.

Meskipun sebutan tajug ini lebih dibilang kuno dan sebutan musolah lebih keren ,namun jejak historis tajug ini lebih banyak berperan dimasyarakat dari pada jejak musolah,  dan meskipun sebutan tajug dengan musolah pada hakikatnya tetap sama tempat ibadah, namun dalam sudut pandang adat sebutan tajug itu memiliki nilai kesan terhormat dan memiliki marwah yang tinggi kedudukanya sebagai situs cagar budaya kearifaan lokal dalam sejarah perkembangan islam di desa juntikebon. Kita sebagai putra asli junti jangan malu ketika kita mendapat tradisi sebutan yang diakui oleh adat kita sendiri meskipun dibilang kuno justru dengan adat kita sendiri jati diri kita akan disegani dan dihargai oleh orang lain.

Semoga kita sebagai anak cucu beliau senantiasa menjaga marwah menjaga tradisi para orang tua kita menjaga para keturunanya sehingga tidak akan lupa sejarah akan tradisi yang telah diwariskan olah para orang tuanya seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi terkini dan tak lupa untuk mengenang jasa beliau kita terutama,

- Kh.Abdussalam, Kh,Abdul Hamid dan Kyai Abdul Ghani

Wa ahli silsilahihim wal ahidna minhum syaiulillahi lahum

Al-fatihah.